Salah satu berita yang mencolok datang dari Bukalapak. Didirikan pada tahun 2010 oleh Achmad Zaky, Nugroho Herucahyono, dan Muhamad Fajrin Rasyid, Bukalapak mengumumkan penutupan layanan penjualan produk fisik di marketplace pada 7 Januari 2025. Keputusan ini diambil sebagai bagian dari langkah strategis untuk fokus pada penjualan produk virtual seperti pulsa, paket data, dan produk digital lainnya. Dalam pengumuman resmi mereka, manajemen Bukalapak menyatakan, “Sebagai bagian dari langkah strategis ini, kami akan menghentikan operasional penjualan produk fisik di marketplace Bukalapak.” Meskipun demikian, mereka masih memberikan kesempatan kepada pedagang untuk mengunggah produk fisik baru hingga 1 Februari 2025, dan pembeli masih bisa melakukan pemesanan hingga 9 Februari 2025.
Tanda-tanda permasalahan finansial Bukalapak sebenarnya sudah terlihat sejak beberapa tahun lalu. Laporan keuangan terbaru menunjukkan bahwa perusahaan ini mencatat kerugian sebesar Rp537,94 miliar per September 2024, meskipun angka ini sedikit membaik dibandingkan dengan kerugian Rp784,85 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, Bukalapak mengalami kerugian sebesar Rp1,38 triliun sepanjang tahun 2023, berbanding terbalik dengan keuntungan Rp1,98 triliun yang dicatat pada tahun 2022. Ronny Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic, mengungkapkan bahwa keruntuhan Bukalapak sudah dapat diprediksi. Sejak diakuisisi oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek), Bukalapak kesulitan menemukan core business yang dapat memberikan pendapatan yang menjanjikan. “Sebagai platform yang hanya menghubungkan penjual dan pembeli, Bukalapak mengalami kebingungan dalam menghasilkan keuntungan,” ujarnya.
Perbandingan dengan pesaing seperti Lazada menunjukkan perbedaan signifikan dalam model bisnis. Lazada tidak hanya memiliki produk sendiri, tetapi juga infrastruktur logistik yang kuat, serta dukungan dari investor luar yang menghubungkan produk-produk dari China ke Indonesia. Dalam hal ini, Lazada memiliki keunggulan yang jelas dibandingkan Bukalapak, yang kini harus bersaing dengan platform lain yang semakin agresif.
Penutupan Bukalapak menambah daftar panjang perusahaan e-commerce yang terpaksa tutup di Indonesia. Sejak awal tahun 2000-an, setidaknya 16 perusahaan e-commerce telah gulung tikar. Ini termasuk dua kategori: pertama, perusahaan yang menghentikan operasional sepenuhnya; kedua, perusahaan yang berganti nama akibat akuisisi. Contohnya, Tokobagus, Kleora, Berniaga.com, Plasa.com, dan MatahariMall.com yang diakuisisi dan mengalami perubahan nama. Sementara itu, 11 perusahaan lainnya menghentikan operasional secara total.
Antara tahun 2020 hingga 2023, dua layanan belanja daring juga tercatat mengalami keruntuhan. Blanja.com, hasil joint venture PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), resmi tutup pada 1 September 2020, sementara JD.ID mengumumkan penghentian operasional pada 15 Februari 2023 dan menutup total usahanya pada 31 Maret 2023.
Dengan kehadiran platform seperti Shopee dan Lazada, konsumen semakin tertarik pada marketplace yang menawarkan pengalaman belanja yang lebih terintegrasi, promosi agresif, dan layanan yang lebih luas. Bukalapak, dan mungkin beberapa e-commerce lainnya, kesulitan untuk mempertahankan daya tarik mereka di pasar yang semakin kompetitif.
Namun, kasus Bukalapak bukanlah fenomena yang unik. Di berbagai negara, banyak e-commerce yang menghadapi tekanan yang serupa akibat dominasi pasar oleh pemain besar, seperti Amazon di AS atau Alibaba di Tiongkok. Situasi ini menciptakan ketergantungan pada promosi atau diskon, yang tidak dapat dianggap sebagai model bisnis yang berkelanjutan. Perubahan perilaku belanja konsumen juga turut berperan, di mana banyak yang beralih ke model direct-to-consumer (D2C) atau social commerce.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (Celios), berpendapat bahwa runtuhnya e-commerce di Indonesia disebabkan oleh peta persaingan yang sangat ketat. Saat ini, e-commerce di Indonesia terbagi menjadi tiga lapisan: lapisan tertinggi diisi oleh Shopee dan Tokopedia-TikTok, lapisan menengah diisi oleh Blibli, Lazada, dan Bukalapak, dan lapisan terendah diisi oleh platform kecil dan lokal. Dengan tutupnya Bukalapak, lapisan menengah kini hanya menyisakan Blibli dan Lazada.
Shopee dan Tokopedia-TikTok bersaing dalam dua aspek utama: inovasi dan pengeluaran besar-besaran. Inovasi seperti live shopping menjadi salah satu strategi yang diadopsi oleh kedua platform untuk menarik konsumen. Shopee telah mengembangkan fitur ini secara masif, sementara Tokopedia mendapat keuntungan dari ekosistem live streaming TikTok. Terlebih lagi, Shopee juga memanfaatkan ekosistem YouTube untuk memasarkan produk melalui video dan live streaming.
Tidak dapat dipungkiri bahwa konsumen di Indonesia masih sangat berorientasi pada harga. Harga menjadi daya tarik utama dalam berbelanja secara digital. Sementara itu, situasi yang dialami Bukalapak semakin menunjukkan bahwa inovasi dan pengeluaran besar-besaran masih menjadi alat bertahan di industri ini. Setelah IPO, Bukalapak belum mendapatkan pendanaan baru, karena fokus mereka lebih pada pengembangan mitra dalam beberapa tahun terakhir, yang akhirnya mengarah pada keputusan untuk menutup layanan e-commerce mereka.
Dengan semakin meningkatnya adopsi teknologi dan perubahan perilaku konsumen, industri e-commerce di Indonesia diharapkan dapat menemukan cara baru untuk beradaptasi dan berkembang. Inovasi dalam teknologi, logistik, dan pengalaman pengguna akan menjadi kunci untuk bertahan di pasar yang kompetitif ini.
Secara keseluruhan, meskipun industri e-commerce di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang signifikan, ada harapan untuk kebangkitan yang lebih kuat di masa depan. Dengan strategi yang tepat dan adaptasi terhadap perubahan pasar, e-commerce di Indonesia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang lebih jauh.
Tanda-tanda permasalahan finansial Bukalapak sebenarnya sudah terlihat sejak beberapa tahun lalu. Laporan keuangan terbaru menunjukkan bahwa perusahaan ini mencatat kerugian sebesar Rp537,94 miliar per September 2024, meskipun angka ini sedikit membaik dibandingkan dengan kerugian Rp784,85 miliar pada periode yang sama tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, Bukalapak mengalami kerugian sebesar Rp1,38 triliun sepanjang tahun 2023, berbanding terbalik dengan keuntungan Rp1,98 triliun yang dicatat pada tahun 2022. Ronny Sasmita, Analis Senior Indonesia Strategic and Economic, mengungkapkan bahwa keruntuhan Bukalapak sudah dapat diprediksi. Sejak diakuisisi oleh PT Elang Mahkota Teknologi Tbk (Emtek), Bukalapak kesulitan menemukan core business yang dapat memberikan pendapatan yang menjanjikan. “Sebagai platform yang hanya menghubungkan penjual dan pembeli, Bukalapak mengalami kebingungan dalam menghasilkan keuntungan,” ujarnya.
Perbandingan dengan pesaing seperti Lazada menunjukkan perbedaan signifikan dalam model bisnis. Lazada tidak hanya memiliki produk sendiri, tetapi juga infrastruktur logistik yang kuat, serta dukungan dari investor luar yang menghubungkan produk-produk dari China ke Indonesia. Dalam hal ini, Lazada memiliki keunggulan yang jelas dibandingkan Bukalapak, yang kini harus bersaing dengan platform lain yang semakin agresif.
Penutupan Bukalapak menambah daftar panjang perusahaan e-commerce yang terpaksa tutup di Indonesia. Sejak awal tahun 2000-an, setidaknya 16 perusahaan e-commerce telah gulung tikar. Ini termasuk dua kategori: pertama, perusahaan yang menghentikan operasional sepenuhnya; kedua, perusahaan yang berganti nama akibat akuisisi. Contohnya, Tokobagus, Kleora, Berniaga.com, Plasa.com, dan MatahariMall.com yang diakuisisi dan mengalami perubahan nama. Sementara itu, 11 perusahaan lainnya menghentikan operasional secara total.
Antara tahun 2020 hingga 2023, dua layanan belanja daring juga tercatat mengalami keruntuhan. Blanja.com, hasil joint venture PT Telekomunikasi Indonesia Tbk (Telkom), resmi tutup pada 1 September 2020, sementara JD.ID mengumumkan penghentian operasional pada 15 Februari 2023 dan menutup total usahanya pada 31 Maret 2023.
Penyebab Keruntuhan E-Commerce
Fenomena keruntuhan e-commerce, termasuk Bukalapak, mencerminkan dinamika yang terjadi di industri ini, baik di Indonesia maupun secara global. Budi Primawan, Wakil Ketua Umum Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA), menyebutkan bahwa salah satu penyebab utama adalah persaingan yang sangat ketat. E-commerce di Indonesia didominasi oleh pemain besar seperti Tokopedia (GoTo) dan Shopee (Sea Group) yang memiliki akses modal yang sangat besar. Mereka mampu memberikan subsidi harga, diskon besar-besaran, dan promosi yang sulit disaingi oleh pemain lainnya. “Operasional marketplace memerlukan investasi yang signifikan dalam teknologi, logistik, pemasaran, dan layanan pelanggan. Dalam kasus Bukalapak, margin keuntungan yang sangat tipis membuat model bisnis ini sulit dipertahankan tanpa suntikan modal yang besar,” jelas Budi.Dengan kehadiran platform seperti Shopee dan Lazada, konsumen semakin tertarik pada marketplace yang menawarkan pengalaman belanja yang lebih terintegrasi, promosi agresif, dan layanan yang lebih luas. Bukalapak, dan mungkin beberapa e-commerce lainnya, kesulitan untuk mempertahankan daya tarik mereka di pasar yang semakin kompetitif.
Namun, kasus Bukalapak bukanlah fenomena yang unik. Di berbagai negara, banyak e-commerce yang menghadapi tekanan yang serupa akibat dominasi pasar oleh pemain besar, seperti Amazon di AS atau Alibaba di Tiongkok. Situasi ini menciptakan ketergantungan pada promosi atau diskon, yang tidak dapat dianggap sebagai model bisnis yang berkelanjutan. Perubahan perilaku belanja konsumen juga turut berperan, di mana banyak yang beralih ke model direct-to-consumer (D2C) atau social commerce.
Nailul Huda, Direktur Ekonomi Digital di Center of Economic and Law Studies (Celios), berpendapat bahwa runtuhnya e-commerce di Indonesia disebabkan oleh peta persaingan yang sangat ketat. Saat ini, e-commerce di Indonesia terbagi menjadi tiga lapisan: lapisan tertinggi diisi oleh Shopee dan Tokopedia-TikTok, lapisan menengah diisi oleh Blibli, Lazada, dan Bukalapak, dan lapisan terendah diisi oleh platform kecil dan lokal. Dengan tutupnya Bukalapak, lapisan menengah kini hanya menyisakan Blibli dan Lazada.
Shopee dan Tokopedia-TikTok bersaing dalam dua aspek utama: inovasi dan pengeluaran besar-besaran. Inovasi seperti live shopping menjadi salah satu strategi yang diadopsi oleh kedua platform untuk menarik konsumen. Shopee telah mengembangkan fitur ini secara masif, sementara Tokopedia mendapat keuntungan dari ekosistem live streaming TikTok. Terlebih lagi, Shopee juga memanfaatkan ekosistem YouTube untuk memasarkan produk melalui video dan live streaming.
Tidak dapat dipungkiri bahwa konsumen di Indonesia masih sangat berorientasi pada harga. Harga menjadi daya tarik utama dalam berbelanja secara digital. Sementara itu, situasi yang dialami Bukalapak semakin menunjukkan bahwa inovasi dan pengeluaran besar-besaran masih menjadi alat bertahan di industri ini. Setelah IPO, Bukalapak belum mendapatkan pendanaan baru, karena fokus mereka lebih pada pengembangan mitra dalam beberapa tahun terakhir, yang akhirnya mengarah pada keputusan untuk menutup layanan e-commerce mereka.
Prospek E-Commerce di Indonesia ke Depan
Meskipun tren penutupan beberapa e-commerce menimbulkan kekhawatiran, Asosiasi E-Commerce Indonesia (idEA) tetap optimis mengenai masa depan industri ini. Mereka percaya bahwa e-commerce di Indonesia akan terus mengalami konsolidasi. Dalam pandangan mereka, konsolidasi ini akan menciptakan ekosistem yang lebih sehat dan berkelanjutan untuk bisnis e-commerce di masa depan.Dengan semakin meningkatnya adopsi teknologi dan perubahan perilaku konsumen, industri e-commerce di Indonesia diharapkan dapat menemukan cara baru untuk beradaptasi dan berkembang. Inovasi dalam teknologi, logistik, dan pengalaman pengguna akan menjadi kunci untuk bertahan di pasar yang kompetitif ini.
Secara keseluruhan, meskipun industri e-commerce di Indonesia saat ini menghadapi tantangan yang signifikan, ada harapan untuk kebangkitan yang lebih kuat di masa depan. Dengan strategi yang tepat dan adaptasi terhadap perubahan pasar, e-commerce di Indonesia memiliki potensi untuk tumbuh dan berkembang lebih jauh.